SIHIR POTTER, BUDAYA POPULER, DAN "POTTER WAR" bagian 3

Mudah-mudahan para penggemar Harry Potter juga masih ingat kisah tentang "Potter War" yang pernah terjadi pada tahun 2000-2001 lalu. Kisahnya begini: ketika Harry Potter sukses di berbagai belahan dunia, sejumlah penggemarnya menghimpun diri dan membuat sebuah website khusus sebagai dedikasi mereka terhadap tokoh idolanya. Banyak orang pun tahu bahwa pada tahun 2000, perusahaan film besar, Warner Bros, telah membeli hak produksi atas film Harry Potter ini. Dan sebagaimana resep perusahaan film global, yang merupakan bagian dari perusahaan media terbesar di dunia, American On Line (AOL) Time Warner - mereka membuat website tersendiri, mengadakan promo beberapa bulan sebelum film sesungguhnya diluncurkan, dsb.

Dalam soal website inilah, kemudian terjadi pertarungan sengit antara pihak Warner Bros dengan para penggemar Harry Potter lainnya. Pihak Warner Bros lalu membuat surat ancaman kepada (anak-anak) pengelola situs Harry Potter agar menutup web mereka, karena dianggap akan menimbulkan kebingungan kepada para penggemar Harry Potter dengan adanya lebih dari satu web Harry Potter tersebut. Para penggemar Harry Potter de berbagai belahan dunia tak bisa terima atas perlakuan ini. Mereka marah dan memprotes kebijakan Warner Bros itu. Inilah yang kemudian dikenal sebagai "Potter War".

Inilah yang sesungguhnya terjadi dan menjadi latar terjadinya "Potter War". Proses distribusi Harry Potter mau dimonopoli sedemikian rupa oleh perusahaan sebesar Warner Bros, yang kemudian menaifkan minat besar para penggemarnya untuk melakukan suatu penghormatan dengan cara mereka sendiri. Intinya adalah soal monopoli tadi. Inilah yang jadi biang masalah dalam industri budaya populer dewasa ini. Ini nanti lekat kaitannya dengan content yang disebut sebagai copyright dan trade mark - hal-hal yang secara luas di sebut sebagai masalah Intellectual Property Rights (IPR), atau kita di Indonesia menyebutnya sebagai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

Soal HAKI ini kisahnya bisa lebih seru dari kisah Harry Potter itu sendiri. Ada kecendrungan umum saat ini di mana perusahaan media besar mau memonopoli produksi kebudayaan populer yang ada, dan membuat para penggemarnya harus membayar mahal atas apresiasi yang hendak mereka tunjukkan kepada "sang tokoh" tadi. Sebagaimana, layaknya suatu jualan yang laku, maka Harry Potter - atau produk tokoh animasi apa pun dari perusahaan Warner Bros, Disney, atau Dream Works, mulai dari Shrek, Mulan, Tarzan, Lion King, dll - pun dibuat benda-benda retail lain yang resmi. Ada baju, t-shirt, topi, buku tulis, gelas, dll. Semua itu dijual di toko resmi, dan soal harga, hemh... mau dibilang mahal, atau murah, itu serba relatif. Tetapi, di luar toko resmi, juga banyak kita temui kaus Harry Potter, atau topi sihir lain yang "tidak resmi". Harganya lebih murah, dan kadang-kadang diproduksi massal juga.

Tarik-menarik antara penggemar Harry Potter dan perusahaan media global jelas terlihat di sini. Lalu pertanyaannya, untuk tujuan apa si perusahaan hendak mendominasi atau memonopoli produksi dan pemasaran seluruh produk mereka tersebut? Apakah semata demi penjualan barang yang diharapkan semakin laris manis sehingga mampu mendatangkan keuntungan yang semakin besar bagi perusahaan? Lalu apakah dengan jalan komersialisasi atau komodifikasi seperti itu, para penggemar Harry Potter setuju? Ternyata, sejumlah penggemar Harry Potter malah tak setuju kalau Harry Potter difilmkan, atau diproduksi hingga ke produk gelas atau buku tulis. Intinya, tak semua penggemar Harry Potter setuju akan komersialisasi - inilah proses yang oleh Stuart Hall disebut sebagai encoding dan decoding. Lalu bagaimana dengan kreator aslinya? Apakah J.K. Rowling dalam hal ini sudah memikirkan untung ruginya mengomersialkan berbagai produk Harry Potter tadi?(By:I.Haryanto/ASmAP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar