SIHIR POTTER, BUDAYA POPULER, DAN "POTTER WAR" Bagian 2

Pada bagian I telah dijelaskan bagaimana Harry Potter menjadi ikon dunia yang akan dikenang terus dalam sejarah kebudayaan populer dunia, baik sebagai produk novel maupun film yang mencatat prestasi fantastik. Istilah budaya populer merujuk pada suatu produk ataupun fenomena yang disukai oleh orang banyak. Kira-kira itu rumusan mudahnya. Ketika istilah ini muncul pertama kali di inggris pada dekade 1960-an, sebetulnya ia merujuk pada suatu perlawanan dari masyarakat kelas bawah terhadap kebudayaan masyarakat kelas atas yang dikonsumsi secara terbatas, seperti balet, opera, musik klasik, dan pertunjukan lain yang mengharuskan adanya suatu adat, sopan santun tertentu, dan cara penginsumsian yang sudah diatur sebelumnya.


Sebaliknya, warga kelas pekerja kebanyakan tak doyang nonton balet, atau opera, tetapi mereka memilih sesuatu yang lebih tak perlu aturan, misalnya, mendengarkan lagu-lagu Beatles, Rolling Stones, The Clash, Sex Pistols, ataupun membuat grafiti di dinding, berpakaian punk, dan lain-lain. Bagi mereka, semua itu merupakan ekspresi kebudayaan dan cara mengonsumsi budaya, yang sama sahnya dengan menonton balet atau opera tadi. Sampai di sini, tak ada yang bisa kita sebut sebagai "kebudayaan tinggi" (high art) ataupun "kebudayaan rendah" (low art).
Di saat zaman posmodemisme muncul, atau ketika pemikiran cultural studies berkembang, maka bauran-bauran tadi muncul. Royal Pilharmonic Orchestra, misalnya, memainkan lagu-lagu Metallica, lalu grup penyanyi Gregorian memainkan lagu milik REM, Dire Straits, Eric Clapton, dan lain-lain. Dalam bahasa salah satu tokoh penting dalam cultural studies, Stuart hall, kebudayaan populer adalah arena kesadaran dan perlawanan. Atau dalam bahasa Raymond Williams, salah satu tokoh awal British Cultural Studies, kebudayaan adalah "suatu jalan hidup tertentu yang dianut apakah itu oleh seseorang atau sekelompok orang, atau di suatu masa tertentu".

Dalam arti ini, Harry Potter sebagai budaya populer tak hanya dilihat dari bagaimana respons audiens (publik) terhadap produk ini, tetapi juga dari sisi-isinya, di mana tokoh yang digambarkan di sini adalah tokoh anak yang bisa dikatakan berasal dari kelas masyarakat bawah (tak punya orangtua, disia-siakan oleh paman dan bibinya), namun ia memiliki "takdir" sebagai seorang yang nantinya menjadi penyihir penting. Dalam arti ini, ia tengah menaiki tangga kelas sosialnya. Dan si penulisnya yang terpuruk secara ekonomi, menjadikan Harry Potter ini sebagai salah satu alasan utama untuk membuatnya bertahan hidup. Di sini letak perlawanannya.(By:I.Haryanto/ASmAP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar