SIHIR POTTER, BUDAYA POPULER, DAN "POTTER WAR" bagian 4

Sejumlah penggemar Harry Potter tak setuju kalau Harry Potter difilmkan, atau diproduksi hingga ke produk gelas atau buku tulis. Intinya, tak semua penggemar Harry Potter setuju akan komersialisasi. Lalu bagaimana dengan kreator aslinya? Apakah J.K. Rowling dalam hal ini sudah memikirkan untung ruginya mengomersialkan berbagai produk Harry Potter tadi?

Kalaupun Rowling berpikiran komersial, tak apa, tetapi jangan sama ratakan semua kreator kebudayaan populer berpikiran seperti itu. Kreator komik Calvin and Hobbes, Bill Watterson, misalnya, merasa sudah cukup puas kalau komik strip-nya dipajang di berbagai koran, dan kemudian dibukukan. Ia tak pernah mengizinkan ada orang yang mau menjadikan tokoh Calvin and Hobbes dalam rupa produk komersial lainnya, seumpama t-shirt, padahal di Singapura, t-shirt yang mengambil sekuel dari komik Calvin and Hobbes sangatlah digemari remaja sana, dan diproduksi massal juga.

Jadi, apa masalahnya di sini? Perusahaan media global sering kali sangat rakus untuk bisa menguasai berbagai produk utama dan turunan dari produk yang laku pada satu saat. Inilah potret lain dari globalisasi, di mana makin lama perusahaan film Amerika sangat mengandalkan penjualan film mereka ke luar Amerika sebagai pemasukan utama dari film-film lain, tentunya bersama dengan produk komersial lainnya. Dan perusahaan media inilah yang paling getol mempromosikan tentang IPR di atas, karena inilah produk Amerika yang paling besar memberikan pemasukan bagi negaranya - jauh lebih besar dari yang diberikan oleh industri pesawat terbang, mobil, kimia, dan juga senjata. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan media ini sangat senang untuk melakukan tuntut-menuntut, jika ada orang yang dianggap menyalahgunakan nama produk mereka tersebut.

Ada contoh laindi luar "Potter War" tadi. Penerbit Verso di Inggris sampai harus mengganti sampul buku Andrew Blake, yang menulis secara ilmiah, buku berjudul The Irresistible Rise of Harry Potter. Ini gara-gara buku itu bersampul ungu dengan simbol bintang, yang dianggap oleh pengacara Rowling bisa menyesatkan pembaca karena akan menganggap buku itu direstui oleh Rowling.

Bukan mustahil pula bila pemilik izin resmi Harry Potter di Indonesia pun melakukan perburuan terhadap mereka-mereka yang dianggap menggunakan brand Harry Potter tanpa "izin resmi" dari pengelolanya. Sayang, ini berita yang jarang terdengar di media massa sini.

Mudah-mudahan kisah tentang Harry Potter sebagai salah satu produk budaya populer yang tidak jatuh menjadi semacam Dementor - suatu makhluk pengisap kebahagiaan, harapan, dan segala energi positif dari diri seorang manusia. Karena perangkap ke arah sana, sangat mudah terbuat, dan menjadikan banyak orang akan terjerat di dalamnya.

Harry Potter adalah sebentuk kreasi orisinil seorang kreator seperti J.K. Rowling, yang kemudian dijadikan milik komersial dari perusahaan media global, dan dijual ke berbagai penjuru dunia. Para konsumen, para muggle, juga harus hati-hati dan waspada, sebab bagaimanapun juga kegemaran kita akan tokoh yang satu ini bisa berbalik menjadi suatu yang menyebalkan ketika tokoh kita terus-menerus dikomersialkan, dan menjadikan para konsumen tak lebih dari suatu pasar yang terus-menerus diisap oleh produsen dan distributornya.

Apakah Anda tahu mana mantra untuk melawan kekuatan yang sedemikan besar ini? Mari kita ciptakan masing-masing. Adiose Amigones ...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar